Tapi Bukan Aku
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang malas mengulang. Mengulang apa saja. Termasuk dalam mengulang hubungan. Itu yang terjadi pada Rio.
***
Dengan hati yang berdegup lebih kencang dari biasanya,
Dita menanti mantan kekasihnya di sebuah tempat ngeteh sore itu. Dari balik
kaca, langit senja berwarna orange-ungu, tapi hatinya kelabu. Dan tak lama
kemudian, nada dering poselnya membuyarkan lamunan Dita.
“Kamu di sebelah
mana? Aku udah mau sampe.” dari Rio, mantan kekasihnya.
“Di sebelah
tempat biasa kita dulu” balas Dita dengan singkat. Tempat itu adalah di
samping jendela yang sering memperlihatkan eloknya langit senja.
Suasana tempat menikmati senja sambil meminum teh sore
itu sedang tidak begitu ramai. Tidak seramai seperti setiap kali dulu mereka menghabiskan
Sabtu sore bersama.
Rio datang dengan gaya khas photografernya. Kaos hitam
polos yang ditumpuk kemeja flannel hijau tua dengan garis hitam yang membentuk
kotak-kotak dan celana jeans hitam yang sedikit kusam.
“Kamu abis motret ya?” Tanya Dita sesaat setelah Rio
duduk di hadapannya. Dita hafal gaya pakaian Rio. Mana Rio yang abis motret,
mana Rio yang hangout bareng
temen-temennya, mana Rio yang dulu nge-date
bareng Dita.
“Iya. Barusan motret di acara nikahan temen, terus
disuruh kamu buat ke sini, yaudah aku mampir. Ada apa?” jawab Rio, dingin.
“Nggak ada apa-apa. Cuma pengen ngobrol aja.”
“Ooh” jawab singkat sambil matanya menatap ke luar
jendela. Memperhatikan senja yang sedang mengintip sepasang mantan kekasih yang
satunya begitu rindu, satunya lagi enggan bertemu, padahal juga rindu.
Dita kesal. Ingin dia protes dengan sikap dingin Rio,
tapi Dita ingat satu hal; emang sekarang,
aku siapanya Rio kalo aku mau protes gitu? Daripada sama-sama diam,
akhirnya Dita berbasa-basi, “Kamu nggak pesen minum, atau makanan?” padahal
Dita bukanlah orang yang suka basa-basi.
“Tadi udah pesen kok. Nanti kan dianter.”
“Oh. Kirain nggak pesen. Kamu kan biasanya gitu, nggak
pesen kalo nggak dipesenin.”
Dari pandangan yang tadinya memandang jauh ke langit
senja, lalu beralih pandangan Rio ke mata Dita. Seketika Dita salah tingkah. Dari
mata Dita tersirat banyak rindu yang terpendam.
Rio hanya tersenyum. “Kamu kenapa kayak salah tingkah
gitu?”
“He.. iya nih. Aku kalo sama orang baru emang suka
salah tingkah gini”
“Orang baru?”
“Iya. Orang baru.”
“Kita kan udah kenal lama. Kita pernah pacaran 3 tahun
lamanya. Maksud kamu orang baru itu apa?”
“Iya sih kita pernah selama itu ada sebuah hubungan.
Tapi aku rasa, Rio yang ada di depanku sekarang ini bukan Rio yang dulu. Rio
yang lain. Rio yang beda dari Rio yang dulu.”
“Oh, ya semua orang kan pasti berubah, Dit. Tak terkecuali,
aku. Kuliahmu gimana? Kalo nggak salah, tinggal 1 semester lagi, ya?”
“Kuliahku ya, biasa. Membosankan. Iya 1 semester lagi
aku selese kuliah”
“Baguslah”
Lalu datang pelayan yang membawakan secangkir teh vanilla
hangat dan beberapa kue kering pesanan Rio.
“Makasih, mbak” ucap Rio sambil tersenyum. Senyummu kepada si pelayan cafĂ© ini masih
sama seperti dulu, tapi kenapa tidak dengan senyummu padaku? Batin Dita
dalam hatinya. Lalu Rio menyeruput tehnya, dan sesaat kemudian, terjadi hening
yang dingin.
Sore makin redup. Matahari tampak seperti tenggelam
dengan gugup, seperti enggan menemani 2 orang yang terdiam begitu lama.
Akhirnya Dita bersuara. “Rio”
Rio yang dari tadi sibuk memainkan kameranya, mengalihkan
pandangannya ke Dita. “Ya?”
“Apa kamu udah bener-bener nggak ada rasa sama aku
lagi?”
“Hm?”
“Maksud aku, apa kamu bener-bener nggak pengen nyoba ‘kita’
lagi?”
“Dit, harus berapa kali sih aku ngomong sama kamu?
Bukannya aku nggak mau, tapi, aku
nggak ingin maksain
cinta ini. Ya, meski tiada sanggup untuk kamu terima”
“Tapi, Rio. Aku sayang sama kamu. Aku udah terlanjur
nyaman sama kamu. Aku rasa, aku bisa bahagia sama kamu.”
“Dita… udah ya. Kamu harus lupain aku. Aku yakin kalau
nantinya, kamu pasti akan bahagia, bahkan lebih bahagia, tapi bukan sama aku.
Dan satu hal, jangan lagi kamu sesali keputusanku ini, aku nggak mau kamu
semakin terluka.” Rio tersenyum. Senyum yang dingin.
“Maaf ya.. Tapi aku cuma pengen nyoba lagi. Pengen lagi
ada kita yang dulu. Pengen lagi ada kamu yang perhatian sama aku, kamu yang
bisa aku manja-manjain, kamu yang ngelindungin aku.” Nafas Dita mulai berat,
nada bicaranya mulai tidak teratur, dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Sekalipun, aku tak akan pernah nyoba kembali kembali
padamu. Kamu mau minta maaf sampe berjuta-juta, juga percuma. Rasa aku, yang
dulu ada buat kamu, sekarang udah mati. Ibarat orang, mati itu sekali. Rasaku juga
gitu. Kalo udah mati, yaudah.”
Kali ini Dita benar-benar putus asa. Sudah berkali-kali
Dita merayu Rio, tapi reaksi Rio selalu sama. Dita menundukan kepalanya,
rambutnya menutupi wajahnya, tapi tak dapat menyembunyikan air matanya yang
jatuh ke lantai tetes demi tetes.
“Maaf, Dit.” Sambil menyodorkan sebuah tisyu, Rio lalu
pamit, “Aku harus pulang sekarang. Tadi aku udah janji sama ibu aku kalo aku
nggak akan pulang kesorean. Kamu mau pulang bareng nggak?”
Dita menggelengkan kepalanya.
“Yaudah, ya. Kamu baik-baik di sini. Semoga saja kan kau dapati hati yang
tulus mencintai
kamu. Tapi bukan aku.” Rio meninggalkan setengah cangkir teh vanilanya,
dan juga meninggalkan sepenuh perasaan Dita kepadanya.
terinspirasi dari lagu Keripasti - Tapi Bukan Aku
No comments :
Post a Comment