Janji
“Frisca Hartanto itu siapa?!” kamu
bertanya dengan nada tinggi
Aku hanya terheran. Setan mana yang sedang merasuki bidadari? “Siapa
sih itu? Kamu kenapa tiba-tiba sewot?”
“Halah. Dia anak mana lagi yang kamu
sepikin?”
Ya. Aku sadar, aku keterlaluan.
Sudah punya bidadari, masih saja suka nyepik manusia biasa. Tapi itu dulu.
Sekarang aku sadar, bahwa tak ada yang lain yang pantas untuk disepik, kecuali
kamu. “Hei, kamu itu kenapa? Coba ceritakan dulu apa masalahnya, biar aku tidak
salah tanggap.” Huh! Sepertinya akan jadi
malam yang panjang.
“Tadi si Frisca itu kirim pesan ke
facebook aku, dia cerita segalanya tentang kamu. Tentang kamu dan kedekatanmu
bersamanya. Tentang kamu dan kebahagiaanmu bersamanya. Tentang kamu, aku, dan
hubungan kita yang sudah tak pantas dipertahankan, katanya” sepertinya setan
pun akan takut jika melihatmu marah seperti sekarang ini. Sambil memegang garpu
dan sendok, yang seharusnya untuk menyantap nasi goreng di depanmu, malah
terlihat seperti untuk menusukku.
“Frisca siapa? Sumpah, demi nasi goreng
di depan kita yang hampir dingin ini, aku tak mengenalnya.” perlahan rasa
laparku tergusur karna amarahmu.
“Kamu mau bohongin aku lagi, apa
gimana? Apa kita sudahi saja hubungan ini?”
“Siapa yang bohong? Kali ini aku
bicara apa adanya. Dulu memang sering, perempuan sana-sini aku goda. Tapi
sekarang, menyapa perempuan pun aku enggan.”
“Kalau begitu, apa maksudnya si
Frisca bercerita seperti itu?”
“Mungkin dia gila.”
“Tapi tadi tuh, dia nyebelin banget
tau! Dia bilang, kamu sama dia sering ketemuan diem-diem. Sering makan bareng
diem-diem. Dan dia juga bilang, kamu sama dia udah saling suka. Sedangkan aku,
hanya buat mainanmu saja selama ini. Dia juga bilang, “kamu tuh kasihan.
Pacarmu hanya mempermainkanmu, tapi kamu saja yang bodoh, dipermainkan tapi tak
sadar” hiiiihhh!!!” brak! Emosimu membuat tanganmu menggebrak meja. Untung
warung yang kita datangi malam itu tidak begitu ramai.
“Hei sayang, dengarkan baik-baik, demi
apa pun, aku tak tahu siapa itu Frisca. Dan apa motifnya dia bercerita seperti
itu padamu, aku pun tak tau.”
Mukamu masih merah. Jelas sekali
kamu marah. Pandanganmu terlempar jauh ke hiruk pikuk kota, malam itu.
Aku genggam tanganmu, lalu berkata “maaf
kalo selama ini aku sering menggoda banyak perempuan dan itu cukup membuatmu
geram. Tapi percayalah, kali ini aku tidak berulah lagi, dan seterusnya pun
akan begitu.”
Memang tanganmu ku genggam, tapi
pandanganmu masih geram.
“Saat rambutku mulai rontok pun,
yakinlah ku tetap setia.”