Di Sebuah Kafe Sore Itu
Sore itu, kita sudah duduk terdiam
berjam-jam di sebuah kedai kopi. Secangkir moccacino yang telah dingin yang
kamu pesan dan secangkir kopi hitam yang tersisa setengah cangkir menjadi saksi
bisu kita membisu.
Aku mencoba
menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiranmu, namun kali ini sangat sulit
untuk menembus pikiranmu itu. Lebih sulit dari pada yang biasa aku lakukan.
Akhirnya
setelah membisu seperti batu begitu lamanya, satu kata terucap dari mulut
mungilmu. “Raka..” ya, kamu memanggil namaku dengan nada sendu. Terakhir kali
aku dengar kamu memanggilku dengan nada seperti itu saat hubungan yang kita
bangun hampir 3 tahun ini hampir kandas. Seketika otakku pun merespon nada itu,
pasti ada yang tidak beres.
“Aku
pengen kita udahan deh” kamu melanjutkan. Jantungku serasa loncat dari singgah sananya.
Ada
hening yang menyambangi kita lagi.
Setelah
akhirnya kamu menyeruput secangkir moccacino dinginmu, akhirnya kamu
melanjutkan “Aku udah nggak kuat kita kayak gini terus. Aku capek, Raka..”
sambil matamu mengarah ke awan-awan gelap di balik jendela. Namun aku tau, kamu
tidak menatap apapun.
Otakku
langsung merespon kalimat yang baru saja kamu ucapkan, lalu seketika membawaku
ke masa lalu, masa di mana awal-awal kita bersama.
Dari
dulu memang kita sulit untuk terbuka dengan satu sama lain. Sampai sekarang pun
aku tak tau apa penyebabnya. Aku seperti merasa kamu tak pernah sedikit pun
memberi hatimu, namun tetap aku tetap memaksakan mencari hatimu yang (aku rasa)
tak pernah kau beri.
Sikapmu
memang manis. Senyummu pun menawan hati. Lelaki mana sih yang di dunia ini yang
tidak jatuh hati pada senyummu? Ha.
“Kamu
yakin kita mau udahan? Apa yang salah?” aku mencoba meyakinkanmu dan diriku
sendiri, serta menanyakan apa yang salah selama ini.
“Kamu
ngerasa nggak sih kalo aku kurang nyaman sama kamu?” jadi kamu memang tak pernah memberikan hatimu sepenuhnya? Ucapku
dalam hati di sela-sela kalimatmu. “Kamu emang baik, perhatian, pengertian,
tapi aku nggak pernah merasa bisa memperlakukanmu seperti kamu memperlakukan
aku” kamu pun menghela nafas.
“Lalu?”
alisku terangkat, mataku mecoba mencari-cari matamu yang kamu palingkan.
“Aku
kasian sama kamu, kalo nantinya kamu nggak mendapatkan apa yang berhak kamu
dapatkan dari pasanganmu. Kayak perhatian, pengertian, sikap baik, dsb yang seperti
selama ini kamu tunjukkin ke aku. Aku mau kita udahan aja, aku takut kalo lebih
lama, nantinya kamu nyesel.”
“Udahan
sekarang? Nggak bisa diperbaiki dulu, Rin?”
“Kita
udah pernah nyoba kan waktu itu buat memperbaiki, tapi nyatanya aku nggak bisa.
Aku nggak sanggup.”
Entahlah.
Saat itu juga, pikiranku langsung kacau dan beberapa komponen otakku sepertinya
error. Hatiku terasa seperti tenggelam dalam palung lautan terdalam. Gelap.
Penuh hewan buas. Menyedihkan.
“Jika
memang tiada harapan, lagi, boleh aku minta tolong kali ini saja padamu?”
“Apa?”
“Tolong
tunjukkin mana jalan keluar dari hatimu? Sudah lama aku berdiam di situ, sudah
nyaman, tapi saat ingin keluar, hatimu terasa seperti labirin.”
Kamu
pun terdiam.
Rintik
hujan mulai membasahi kaca kafe yang kita tempati sekarang. Rintik tangisku pun
mulai membasahi dinding-dinding hatiku saat membayangkan hubungan kita
berakhir.
“Rin..
jawab. Jika memang tak akan bersanding, aku cuma minta itu kok. Setelahnya, aku
berjanji tak akan kembali lagi ke hatimu maupun mengusik kehidupanmu. Tapi jika
kamu tak menunjukkan jalan keluarnya, aku akan tetap di situ.”
“Tapi
mana mungkin bisa, Raka? Aku nggak tega kalo nantinya kamu menyesal. Penyesalan
di akhir biasanya tiada akhir..” dengan nada berat kamu berbicara.
“Rin,
walau tertatih, walau tercabik, khilafkan putih, hanya kau mimpiku.. Manusia kan
boleh bermimpi setinggi apa pun, tapi jangan sampai lupa untuk mewujudkannya. Dan
aku, akan mewujudkan mimpiku, kamu.” Aku masih berusaha meyakinkanmu.
Rintik
hujan pun perlahan menjadi hujan. Deras. Kelabu. Dingin.
Perlahan
tangismu pun pecah.
“Kamu
kenapa malah menangis?”
“Aku
nyesel, Raka. Belum pernah ada lelaki seserius ini sama aku. Aku nyesel belum
bisa jadi yang terbaik buat kamu. Maaf.” sampai saat ini pun kamu belum berani
menatap mataku.
“Aku
nggak nyesel kok. Bersamamu saja sudah membuatku bahagia. Kalau saja kamu
berbuat lebih, pastinya nggak akan ada kebahagiaan yang lebih dari itu.”
“Makasih
ya. Kamu mau kan bantu aku biar jadi yang terbaik buat kamu?” akhirnya
pandanganmu mengalih padaku.
Aku
pegang lembut tanganmu, dan aku katakan “Pasti!”
Dengan
peluk sambil memandang hujan yang membuat bumi kelabu, kita habiskan sore yang
sendu itu.
Terinspirasi dari lagu Jalan Keluar dan Tertatih - Sheila On 7.
Sedaaaaap (y)
ReplyDeleteahaha, makaseh.. :3
Delete