Hujan di Purwokerto
Sebulan yang lalu, saya iseng-iseng ikutan lomba menulis cerpen yang bertema #CeritaCintaKota. Iye, itu loh lomba yang dibikin sama @_PlotPoint. Dan tahukan kamu? Saya nggak menang. Apa? SAYA NGGAK MENANG. Jelas? Puas? -,-
Dan karna enggak menang, saya posting saja lah cerita pendek (absurd+cemen) saya. Ini mengerikan loh, masih yakin mau baca? Kalo enggak, buruan close tab ini!
.
.
.
.
.
.
Loh? Masih kekeuh mau baca? Ya sudah, saya sudah katakan sebelumnya, ini mengerikan. Segala hal yang terjadi setelah kamu membaca cerpen di bawah ini, bukan merupakan tanggung jawab saya. Mari disimaaaakk~
Hujan di Purwokerto
oleh: Brian Ramadhan Putra
![]() |
Gambar dari sini |
It’s
you.. yes it’s you that I adore~
It’s
you.. who makes my life so colorfull~
(Mocca – You)
Hujan lebat
mengguyur Purwokerto sore itu. Rasya dan Vino berteduh di depan sederetan ruko
yang terletak di timur Tamara Plaza. Mereka berdua adalah sepasang sahabat yang
sebenarnya saling jatuh hati, namun terlalu pengecut untuk mengakuinya.
“Vin,
kamu tahu apa yang aku suka dari hujan?” tanya Rasya sambil mengusap-usap
bahunya sendiri karna kedinginan.
“Emm..
hujannya!” Vino menjawab dengan nada sotoy.
“Bukan
ih. Sok tau kamu. Yang aku suka dari hujan itu, pelangi. Pelangi itu indah, dan
aku selalu yakin bahwa setelah hujan pasti ada pelangi. Ya, walaupun pelanginya
entah muncul di mana, sih. Hehehe..” Rasya tertawa renyah.
“Itu
mah berarti bukan hujannya yang kamu suka, tapi pelanginya. Woo..” Vino menoyor
kepala Rasya.
“Hih!
Tapi kan mana mungkin ada pelangi tanpa hujan? Hayo? Makannya aku suka hujan.”
“Berarti
ibaratnya nih, kamu lebih suka sedih dulu, baru habis itu kamu bahagia. Gitu
bukan?” lagi-lagi Vino berbicara dengan nada sotoy.
“Ya
nggak gitu juga sih, Vin. Ih.. kamu deh.” Rasya cemberut akan ke-sotoy-an Vino.
“Hujannya
kok nggak reda-reda ya, Sya? Kita jadi berangkat bimbel nggak nih?”
“Kalo
nggak reda-reda ya udah, kita di sini aja. Haha” sampai akhirnya, Rasya dan
Vino tindak menghadiri jadwal bimbel hari itu lantaran hujan.
Percakapan
itu terngiang-ngiang di kepala Rasya saat ia memandangi hujan dari kamarnya
sampai sebuah sms membuyarkan lamunannya.
Rasya, main yuk? Aku lagi liburan nih,
sekarang udah di Purwokerto. Vino.
******
Satu tahun
yang lalu, dua sahabat yang saling jatuh hati namun pengecut ini terpaksa
dipisahkan oleh keadaan sebelum mereka saling mengakui bahwa mereka saling
jatuh hati.
Vino,
seorang anak basket yang digandrungi banyak gadis-gadis saat masih SMA ini akhirnya
melanjutkan sekolahnya di Australia. Vino beruntung bisa mendapatkan beasiswa
dari sebuah Universitas yang tersohor namanya di Australia. Vino tidak mau
melewatkan kesempatan bersekolah di luar negeri ini, maka dengan resiko apa
pun, ia akan tetap pergi ke Australia untuk menempuh pendidikan yang ia
idam-idamkan sejak kelas 2 SMA.
Rasya,
gadis bertubuh mungil dengan kacamata yang selalu melekat di depan dua bola
matanya itu merupakan sahabat Vino sejak masih SMP. Rasya hafal makanan
kesukaan Vino; nasi goreng ekstra pedas. Rasya hafal warna baju favorit Vino;
merah. Rasya hafal di mana Vino suka bermain basket; GOR Satria. Hampir semua
tentang Vino, Rasya tahu. Hanya satu yang sampai saat ini Rasya belum tahu, isi
hati Vino.
Wah Vinoooooo... kamu kapan sampe Purwokerto?
Kok nggak ngabarin aku dulu? Ayok main, tapi sekarang hujan. :(
Jantung
Rasya berdegup 3 kali lebih kecang dari biasanya. Seperti bunga yang baru
merekah, begitu segar, penuh warna, dan ceria. Mungkin begitulah suasana hati
Rasya saat itu.
Hehe, emang sengaja nggak ngabarin kamu dulu.
Kemarin lusa aku baru sampe Purwokerto kok. Btw, besok kita keliling
Purwokerto, yuk! Besok aku jemput kamu jam 8 pagi. Aku kangen sama Purwokerto,
sama kamu juga.
Deg!
Jantung Rasya hampir loncat untuk kedua kalinya saat selesai membaca kalimat
terakhir dari isi sms yang dikirimkan oleh Vino. Seketika hujan pun reda, dan
pelangi perlahan menampakkan dirinya. Pelangi itu menyinggahi hati Rasya.
Oh
no, I think I’m in love with you...
Oh
no, I think I’m in love with you, oh no~
(Mocca – You)
******
“Aduh, tumben
anak mamah udah bangun jam segini. Udah mandi pula. Mau ke mana kamu? Kencan
ya?” mamah Rasya menggoda putrinya yang sudah cantik pagi-pagi seperti ini.
“Ih,
mamah.. enggak. Rasya cuma mau nemenin Vino jalan-jalan kok.” raut muka Rasya
pagi itu begitu ceria, lebih ceria daripada matahari pagi.
“Vino?
Vino lagi di Purwokerto? Kapan dia balik?” mamah Rasya pun tahu kalau Vino adalah
sahabat Rasya. Waktu SMA, Rasya dan Vino sering berangkat bimbel bersama dan
belajar bersama di rumah Rasya, maka tak heran jika mamah Rasya kenal baik
dengan Vino.
“Iya,
mah.. katanya sih 3 hari yang lalu dia sampe Purwokerto. Udah yah, Vino udah nunggu
di depan tuh.”
“Eh,
enggak sarapan dulu? Sya, Sya..”
“Nggak
usah, mah. Nanti sarapan di jalan aja deh.”
“Hmm..
mentang-mentang. Ya udah, hati-hati ya, Sya. Salam buat Vino..”
“Iya,
mah. Dadah mamah..” Rasya mencium tangan mamahnya. Tidak pernah sekali pun
Rasya tidak mencium tangan mamahnya ketika hendak pergi. Rasya memang gadis
mungil yang sangat menghormati orang tuanya.
******
Pagi itu
matahari bersinar cerah, burung-burung bernyanyi riang di ranting-ranting
pohon, embun pagi masih setia menemani daun dan kabut tipis masih menyelimuti
jalanan. Baturaden!
Ternyata
Vino membawa Rasya ke Baturaden pagi itu. Udara dingin Baturaden pagi itu
membuat orang-orang yang datang sepagi ini ke Baturaden enggan melepaskan
jaketnya. Sungguh dingin, namun sejuk. Begitulah hawa di sekitar tempat wisata
yang berada di lereng Gunung Slamet itu.
“Lama
ya, Sya. Kita nggak ke sini. Ternyata banyak perubahan. Haha”
“Perubahan
apanya? Perasaan ya gini-gini aja deh.”
“Itu
loh, sekarang ada pesawat di sini. Itu pesawat beneran, kan? Atau hanya imajinasiku
belaka?” tanya Vino meyakinkan.
“Ohhh...
iya itu pesawat beneran dong. Waktu itu ada pesawat nabrak Gunung Slamet terus
jatoh, nah, puing-puing pesawatnya dikumpulin terus dibikin pesawat itu deh. Haha”
Rasya mulai mengarang ceritanya sendiri.
“Ngaco
kamu ya..” Vino menoyor Rasya, toyoran Vino masih sama seperti toyorannya
setahun yang lalu. “eh, Sya, naik ke pancuran 7 yok!” lanjut Vino dengan penuh
semangat.
“Hah?
ke pancuran 7? Capek, Vin. Males. Tapi kalo kamunya mau gendong sih, ayok. Haha”
“Yah,
masa nggak mau? Aku maksa nih. Ntar aku traktir makan deh.”
“Serius
nih?”
“Yap!”
“Okedeh.
Ayok naik!” Rasya begitu bersemangat naik ke pancuran 7, bukan karena
iming-iming traktiran makan seperti yang dijanjikan oleh Vino, melainkan karna
dengan naik ke pancuran 7 dan setelahnya makan, maka waktu yang didapat Rasya
untuk berdua dengan Vino bisa lebih lama. Semua orang pun pasti mengharapkan
hal yang sama; berlama-lama dengan orang yang dicintanya, terlebih jika ditemani
dengan setumpuk rindu yang sudah lama tersimpan rapih di dalam kalbu.
******
Jam tangan
Rasya menunjukkan hampir pukul 1 siang. Perut Rasya pun sudah memperlihatkan
tanda-tanda bahwa sekarang sudah memasuki jam makan siang. Namun Vino masih
sibuk dengan kameranya dan objek-objek di sekitar pancuran 7 tersebut. Ya,
semenjak pindah dari Purwokerto, Vino jadi hobi fotografi.
“Vino,
turun yuk? Laper nih.” Rasya merengek kelaparan pada Vino.
“Kamu
sini dulu, kamu jadi objek fotoku dulu gih. Cuma beberapa jepretan deh. Setelah
itu kita turun.”
“Huh,
Vino!”
15
menit kemudian, Vino yang telah puas dengan hunting
fotonya kali ini langsung mengajak Rasya turun. “Ayok turun, capek nggak? Mau
aku gendong apa gimana? Haha” Vino menggoda Rasya.
“Iya
capek tauuu..” Rasya menggerutu “boleh kok kalo kamu mau gendong” lanjutnya.
“Yaudah
sini, buruan.”
Deg!
Seakan petir menyambar jantung Rasya. Ia hampir tidak percaya Vino ternyata
serius akan melakukan hal itu. Rasya terdiam membisu.
“Hei,
Sya.. kamu kesurupan? Woi woi!! Jangan diem gitu..” Vino panik setengah
meledek.
“Hehe,
enggak. Yuk deh.” senyum Rasya pun merekah dengan indahnya.
Tercipta
hening beberapa saat. Rasya diam-diam menikmati wangi parfum Vino. Wangi parfum
itu masih sama seperti wangi parfum setahun yang lalu, saat mereka berdua
berteduh ketika hujan waktu itu.
“Sya,
kamu mau makan di mana?” tiba-tiba Vino membuyarkan lamunan Rasya.
“Eh,
hm? Nggg, terserah kamu deh. Kan kamu yang mau bayarin. Hehe”
“Gimana
kalo kita makan di food court Andhang
– nama taman kota
Purwokerto – aja? Aku pengen sekalian
jalan-jalan di sana.”
“Oke
bos.. tapi, buruan kek jalannya. Cacing-cacing perutku keburu demo nih.”
“Emang
bisa? Coba, aku pengen liat cacing-cacing perutmu demo. Hahaha”
“Vinooooooo...”
Rasya menjambak rambut pendek Vino.
Jalanan
dari Baturaden menuju Andhang siang itu cukup padat, terutama di daerah kampus
Unsoed. Yang seharusnya tidak memakan waktu sampai setengah jam untuk mencapai
Andhang, kali ini sampai memakan waktu hampir 45 menit. “Huh, kok Purwokerto
sekarang jadi rame gini, sih?” gerutu Vino. Rasya hanya diam saja sambil
tertawa kecil memperhatikan tingkah Vino.
Dengan
rasa lapar yang super duper dahsyat, sampailah mereka di Andhang Pangrenan.
******
“Hyaa Andhang!
Lama tak jumpa.” Vino berteriak lepas seakan bertemu sosok yang sangat ia
rindukan. “Sya, kamu mau makan apa? Awas kalo bilang ‘terserah kamu’ lagi, ya. Aku
jitak.”
“Em...
kita beli siomay aja yuk, yang banyak. Nanti kita makan di bawah ‘daun pisang’
yang gede itu sambil liat festival band itu noh. Hehe, gimana?” di Andhang
Pangrenan ini memang ada tempat nongkrong yang mempunyai atap mirip dengan daun
pisang yang masih hijau. Dan jika kita duduk atau nongkrong di bawah ‘daun
pisang’ tersebut, kita akan berhadapan langsung dengan panggung yang biasanya
menyajikan festival-festival band seperti itu.
“Oke,
siap!”
Rasya
dan Vino pun beranjak memesan 2 bungkus siomay. Khusus Vino, ekstra pedas. Namun
khusus Rasya, hanya kecaplah yang menjadi perasa siomay itu. Rasya tidak suka
pedas. Rasya pernah sampai terkena diare selama seminggu hanya karna tidak
sengaja menelan satu sendok nasi goreng pedas.
Setelah
pesanan mereka jadi, Rasya dan Vino pun beranjak ke bawah ‘daun pisang’ itu.
“Sya,
gimana kuliah kamu sekarang? Enak?” Vino mencoba mencairkan suasana.
“Em,
ya gitu deh, enak sih, tapi kadang nggak enak kalo lagi banyak tugas. Masa ya,
tiap minggu harus buat laporan penelitian gitu sih. Rese banget dosen yang
kasih tugas gituan deh!”
“Ya,
namanya juga kuliah, pastinya banyak tugas gitu lah. Itu sih kamu mending, dikasih
tugas bikin laporannya per minggu, kalo aku mah nggak pasti. Kadang 3 hari
sekali, 2 hari sekali, ya gitu deh. Apalagi laporannya pake bahasa inggris
semua. Repot.” Vino bercerita dengan menggebu-gebu. Namun Rasya sudah terpaku
pada mata Vino yang sedang bercerita. Teduh, tenang, dan menyejukkan. “Sya..
Rasya...”
“Eh,
iya? Apa tadi kamu bilang?” Rasya berkata dengan tergugup-gugup.
“Yee,
kamu itu. Makanya dengerin kalo ada orang lagi cerita!” Vino kesal.
Lalu
hening tercipta. Entah siapa yang memulainya. Pikiran Rasya jauh terbang
melintasi awan, membayangkan apa yang terjadi jika Rasya mengungkapkan isi
hatinya, sekarang. Di satu sisi, Rasya tidak mau kehilangan kesempatan lagi
untuk mengungkapkan isi hatinya pada Vino, namun di sisi lain, Rasya juga tidak
terima resiko kehilangan Vino jika ternyata Vino tidak menyukainya, lalu
menjauhi dan menganggap Rasya bukan apa-apa lagi. Sebuah pertengkaran batin pun
terjadi pada batin Rasya.
Dan
setelah sekian lama Rasya memendam cintanya, akhirnya Rasya putuskan untuk
mengungkapkannya sekarang. Hujan pun perlahan turun membasahi Purwokerto
menjelang senja itu.
“Yah,
hujan. Gimana nih, Sya?”
“Apanya
yang gimana? Ya udah, kita di sini aja dulu. Daripada hujan-hujanan, kan? He”
Rasya tertawa garing. “Vin, kamu inget nggak, setahun yang lalu kita berteduh
di ruko-ruko timur Tamara Plaza itu? Waktu kita mau berangkat bimbel tapi nggak
jadi karna hujan. Haha”
“Terus
kita makan kebab di depan ruko-ruko itu, kan? Haha aku juga inget. Lucu ya
kita, dulu.” Vino membayangkan kejadian satu tahun yang lalu itu.
“Em,
Vin. Boleh aku ngomong jujur?”
“Ya?
Apa? Tinggal ngomong aja kali, kayak sama siapa aja”
“Sebenernya,
aku suka sama kamu. Aku suka sama kamu udah lama, Vin. Aku suka sama tingkahmu
yang terkadang konyol dan bikin aku geli sendiri. Aku suka sama kamu yang pinter. Aku suka semuanya tentang kamu.”
JGLEERRRR!
Tiba-tiba petir menggelegar di langit-langit Purwokerto.
Vino
terdiam mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Rasya. Rasya pun
terdiam.
“Em,
Sya? Kamu beneran suka sama aku?” Vino mencoba meyakinkan dirinya dengan
bertanya pada Rasya.
“Iya,
Vin..”
“Kenapa
kamu nggak ngomong dari dulu?”
“Aku
takut, Vin. Aku takut kalau nantinya kamu malah ngejauhin aku kalo dulu aku
bilang ini ke kamu.” Rasya menarik nafas dalam-dalam. Jelas sekali nafas Rasya
terasa berat saat itu.
“Aku
juga suka sama kamu, Sya.” Deg! Sekejap jantung Rasya terasa berhenti. Namun,
Vino melanjutkan “tapi itu dulu. Maaf”
Rasya
terdiam kaku seperti batu. Sekarang, petir yang menggelegar di langit-langit
Purwokerto pun mulai menggelegar di langit-langit hati Rasya. Kenapa nggak dari dulu aku bilang hal ini ke
Vino. Rasya mulai menyesali perbuatan yang telah ia lakukan dahulu kala;
mencintai dalam diam, dan terlalu pengecut untuk mengakui cintanya lantaran
takut kehilangan.
Cinta
itu tidak seharusnya didiamkan, tapi disuarakan. Kita juga tak sepantasnya
terlalu pengecut untuk mengakui bahwa kita mencintai seseorang, meskipun
sahabat sendiri.
“Aku
udah punya pacar di Austalia sana, anak Makasar, dia tidak lebih menarik dari
kamu, Sya. Tapi dia udah ngisi relung hatiku saat ini, maaf.”
Rasya
masih membisu dalam penyesalannya. Gemuruh petir dalam hati Rasya makin
menjadi-jadi. Rasya berusaha menahan air matanya, namun apa daya.
“Tapi,
kita masih bisa jadi temen kan, Vino?” Rasya berkata dengan nada sendu sambil
mengusap area sekitar matanya yang mulai basa karna air matanya yang perlahan
membanjiri mata Rasya.
Vino
hanya terdiam melihat reaksi Rasya. Dan sesaat setelah itu, Vino memeluk Rasya.
“Iya, kita masih jadi temen, kok.”
“Janji?”
“Janji!”
Hingga
kini, pelangi yang diyakini selalu ada setelah hujan berakhir, oleh Rasya,
tidak pernah lagi menampakkan wujudnya.
No comments :
Post a Comment